Melunjaknya polemik
di ranah kader PMII
Al-Qolam membuat hati ini semakin ciut.
Malu karena saya sendiri masih membungkam suara untuk memperpanas keadaan. Masih terjebak ketakutan atas beberapa tulisan
yang pribadi anggap, diri ini termasuk objek sasaran penulis itu. Dilainsisi,
beberapa kawan yang saya anggap
“SENIOR” berusaha membujuk saya untuk membuka mulut. Ikut andil memperamai situasi.
Akan tetapi, hati ini masih ciut.
Ciut yang terbakar profokasi. Ingin survive,
tapi semakin membius.
Saya tegaskan kembali,
sebagai wujud kader
yang memiliki predikat “MUJAHID”, saya rasa cukup sampai disini menampakkan wajah bisu. Sekali lagi,
baiklah:
Begini, menarik sekali jika membaca sepintas coretan tangan sahabati
Herwiningsih. Kritikannya yang tegas, tak dapat hanya
di tahan di telinga, kemudian dimuntahkan lagi.
Membakar, sangat membakar semangat kader lainnya untuk sanggah menyanggah perihal kebenarannya.
Dan menariknya, menumbuhkan budaya tulis menulis.
Polemik sebagai ciri khas The Agent Of Change.
Tidak banyak
yang dapat saya tanggapi.
Di tengah carut marutnya kondisi finansial lembaga dompet pribadi,
saya hanya bisa termangu,
termenung jika sampai
kata “PMII Al-Qolam” Wadah Pembentuk Karakter Kader Liberalis” ditelan mentah oleh
para pembaca dan menimbulkan kesimpulan,
PMII Al-Qolam gak bener.
Atau lebih parah lagi,
“PMII sesat”. Ah, semoga tidak. Padahal,
PMII-nya sendiri tidak salah.
Sesuai dengan AD/ART
serta materi yang
tertera di dalamnya. Dan bahwa PMII, adalah organisasi
di bawah naungan NU
termasuk Anshor, IPNU,
IPPNU dll.
Sementara, sedikit benarapa
yang dikatakan melalui tulisannya
“Liberalis” Sebagai Proses Berfikir Dan Bertindak Tanpa Melanggar Nilai-nilai PMII”, bahwa PMII tidak salah.
Di manapun. Nilai-nilai ke-Islam-an
yang dibawanya tidak pernah keluar batas norma syari’at Islam. Termasuk
PMII Al-Qolam. Mengenai masih adanya tindakan kader—termasuk
senior—yang dirasa tidak sesuai dengan norma-norma ke-Islam-an, maka tidak dapat menghukumi bahwa
yang salah adalah PMII,
akan tetapi segelintir oknum
yang kurang sadar akan penerapan nilai-nilai ke-Islam-an dan ke-Aswaja-an dalam
PMII itu sendiri. Sekali lagi,
oknum.
Sebenarnya, maksud dan tujuan sahabati
Herwiningsih dalam tulisannya yang
dapat menggugah jiwa-jiwa tertidur itu sangatlah mulia.
Menegakkan kembali martabat dan norma
PMII yang sudah memudar. Akan
tetapi, bertindak kritis dengan sangat pedas mengkritik keadaan
yang ada lalu kemudian lari dalam kenyataan bukanlah tindakan yang
professional. Akan tetapi bertahan dalam keadaan,
juga berusaha membenahi
yang tidakbenar, itulah yang dikatakan‘AmalMa’ruf Nahi Munkar dalam ajaran
Islam. Dan merupakan harapan besar jika hal tadi dapat tertanam kuat
di hati para kader.
Bagi pribadi saya,
tidak perlu lagi meributkan terkait
kata Liberal sebagai suatu kontrofersi.
Sebagai sosok mahasiswa,
lazimnya sudah mampu membedakan segala sesuatu melalui paradigma kritis transformatif.
Bagaimana kader menilai sebuah wacana.
Kata Liberal sendiri, memiliki ragam makna.
Multi tafsir, penggunaan sesuai situasi dan kondisi. Dalam artian,
jika kata Liberal diartikan suatu
mala petaka, hal itu menandakan
Liberal dalam artian faham Liberal.
Akan tetapi jika kata
Liberal digunakan sebagaimana sesuatu
yang notabene tidak bertentangan dengan undang-undang atau norma-norma, maka kata Liberal mencakup makna
general. Semisal yang tertera di jargon kebanggan Rayon “Liberalis” Averrous misalnya, jika
kata Liberal disitu masih diperdebatkan, maka akan menjadi debat kusir.
Sebagai bahan evaluasi,
atas semua kejadian
yang menyimpang di dalam lingkungan omek
PMII, harus ada kesadaran dalam benak masing-masing individu baik anggota,
pengurus, junior bahkan senior. Hemat pribadi,
seharusnya memang tidak patut seorang
“senior” memanfaatkan keadaan dirinya sebagai
senior terlebih sebagai pemimpin,
untukmencari udang-udang di
balik ketundukan dan keluguan
para junior. Merasa bahwa diri paling berkuasa, sehingga sangat leluasa untuk menggiring serta menegur
para juniornya yang dirasa tidak
pas dihati, kendati apa yang
dilakukan si junior
sudahlah sesuai dengan prakti ketika,
moral dan perilaku. Sungguh bukan suatu hal
yang patut bagi para
pemimpin. Ah, mencari udang
di balik batu.
Juga sebaliknya,
anggota junior harus senantiasa melaksanakan perintah seniornya selagi tidak keluar batas norma-norma ke-Islam-an.
Memiliki sikap serta kepribadian
yang mawas diri agar tetap selalu waspada akan suatu hal
yang dianggap menyimpang.
Sebagai anggota serta kader
PMII, hemat penulis memang seharusnya kita ber-PMII untuk
PMII itu sendiri. Bukan ber-PMII untuk
senior. Ber-PMII yang sesuai dengan aturan dan ketentuan
yang tertera di dalamnya. Istilah kerennya,
dari kita untuk
PMII, dari PMII untuk kita.
Selaku senior yang terhormat, hendaknya tidak saling menjatuhkan
mental para bawahannya yang dapat menurunkan semangat serta
mental dari para junior. Mengubah-ubah nama juniornya
yang dirasainya mengancam—padahal membela diri—dengan nama-nama
yang sangat tak layak.
Di dalam tulisannya, “Radikalisme Boboiboy” digambarkan sahabati
Herwiningsih sebagai pemilik nama kartun Boboiboi,
sahabati Nur Layla
dengan nama Yaya,
sahabati Layla denga sebuta Gopal,
dan entah siapa lagi
yang dirubahnya. Apa demikian itu layak?
Setidaknya, andaikan saja sipenulis diberikan gelar oleh
para bawahannya dengan nama si
“JOJON”, apakah mau? Saya yakin jawabannya
“TIDAK” .
Cukup sekian basa-basi
di atas, ini hanya sekedar sebuah tulisan
yang keluar dari satuotak.
Dengan sengaja tidak memasukkan dalil-dalil teks ke-Tuhan-an dan
lain sebagainya sebagai penguat.
Karena saya yakin,
pembaca tulisan ini lebih mahir serta menguasai akan dalil-dalil penguat baikdalam
Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Tergantung sejauh mana mempraktekkannya.
Sekian, metursuwun.
0 Komentar "Membungkam Kicauan ‘’LIBERAL”"