Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

The Voice of Silent Majority


Kisah ini diangkat berdasarkan realita, bukan fiktif, bukan jenis narasi, bukan khayalan dan tiada maksud untuk meghujat suatu kaum apalagi menjatuhkan pihak manapun. Penulis di sini hanya sebagai wadah dan penyalur aspirasi, supaya kedepannya tiada lagi cerita yang demikian menyayat hati. Berikut saya akan uraikan cuplikan kisah beserta dasar hukumnya, dikarenakan sudah bisa dikatakan termasuk dalam tindak pidana.

Siapa yang menyangka jika seorang yang selama ini mengaku mengayomi, sang panutan, sang pimpinan, sang.. sang.. dan sang yang lainnya. Ternyata tak lain karena ada sesuatu yang sebenarnya diinginkan atau populer dengan sebutan “udang dibalik batu”. Cuplikan kisahnya kira-kira seperti berikut ini:

**Udang 1__

Kedekatan X dan Y tidak lain dan tidak bukan hanyalah sebatas antara atasan dan bawahan, tidak juga melampaui batas kewajaran. Akrabnya mereka atas dasar profesionalitas semata, tidak lebih! namun apa hendak dikata jika dibalik batu ternyata ada udang.

Berawal dari perkataan X yang dirasa mulai tidak pantas untuk diucapkan seorang atasan terhadap bawahannya, Y merasa ada yang perlu diwaspadai akan hal ini. Kemudian juga sikapnya yang mulai tak beraturan. Keresahan Y pun semakin menjadi. Perasaan was-was itulah yang membuat Y mengambil sikap untuk mulai menjauh, menjauh dan menjauh.

Di sisi lain, X mulai geram dengan sikap Y yang mulai berubah terhadapnya. Hingga berbagai macam teror pun ia lakukan demi membuat Y merasa kapok dan kembali bersikap seperti sedia kala. Namun nampaknya usaha X tersebut tak membuahkan hasil. Y tetap pada pendiriannya untuk tidak lagi menanggapi apapun yang dilakukan X. Meskipun timbul banyak pertanyaan di benak Y. Ada apa sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa? Ah, terlalu kompleks untuk dipertanyakan.

Suatu hari, tepatnya suatu malam. Telah terjadi suatu perkara hasil ciptaan sendiri. Sekali lagi saya tegaskan, ini “REALITA”. Bukan rekayasa. Saat semua manusia pada umumnya tengah berkelana mengarungi mahligai mimpi. Si X terus mengganggu Y yang saat itu ingin segera beristirahat sekedar memulihkan tenaga yang telah terkuras habis di hari itu. Singkat cerita, Y terperanjat ketika ia lihat layar ponselnya di pagi hari. Pesan masuk dari Y berisi segala ungkapan perasaan yang ia simpan selama ini untuk Y. “Aku lakukan apapun untukmu, akan ku lakukan apapun asalkan itu bersamamu, aku rela.. sebab aku sangat mencintaimu, percayalah.. aku bukanlah seorang yang pandai merangkai kata-kata cinta, maka jika sampai aku berani katakan rasa cintaku berarti itu memang itulah yang sesungguhnya”. X juga menyertakan bukti yang ia anggap adalah bukti akurat tentang ucapannya tersebut. Ia lampirkan dua buah potret dirinya sendiri. Sebuah potret dari bagian perut sampai ke kakinya yang saat itu hanya celana pendek jenis “boxer” yang ia kenakan. Sedang potret yang lain adalah potret dirinya sendiri yang tengah telanjang bulat. Jika saya tanyakan kepada pemuda pada umumnya, apakah mengugkapkan isi hati dengan cara sekonyol itu pantas? Oh, memalukan!

Sedangkan, bukan barang mustahil hal yang dirasa kurang pantas dan bahkan sama sekali tidak pantas dilakukan pada “seorang bawahan” ternyata memang benar-benar dilakukan. Entah atas motivasi apa sang atasan melakukan hal tersebut. Kejadian ini tentunya membuat Y serasa terkena hantaman berat beribu kali. Ia tak percayakan hal ini benar-benar terjadi kepadanya. Hampir sampai hitungan bulan Y mengalami depresi berat karena hal itu. Hingga ia sempat berfikir tak ingin lagi melanjutkan studinya sebab ia rasa lingkungan sekitarnya tak lagi bersahabat. Tak lain hanya sarang penjahat. Beruntung masih ada orang-orang terdekatnya yang tiada henti memberi kekuatan. Menyirami hatinya dikala gersang.

Mungkin timbul pertanyaan di benak pembaca. Apakah tidak mungkin jika itu hanyalah sebuah kesalahan? Dibajak mungkin? Sama sekali tidak. Haqqul yaqin si korban itu benar-benar murni X sendiri yang lakukan. Pasca kejadian itu, berulang kali X masih mencoba menghubungi Y dengan alasan untuk meminta maaf. Namun niat baik X tak mampu mengganti derita yang didapat Y. Jauh dari peri kemanusiaan. Sedikit berjiwa pemimpin memang. Tapi itu dikotori dengan miskinnya jiwa kemanusiaan. Astaghfirullah.

**Udang 2__

Tak jauh beda dengan udang pertama, hubungan A dan Z pun hanyalah sebatas rasa segan bawahan terhadap atasannya, Z berharap akan mendapat kenyamanan dan perlindungan dari atasannya. Tapi apa yang ia dapat? Mari simak rangkaian ceritanya di bawah ini.

Bisa dibilang hubungan mereka cukup dekat. Z merasa mempunyai seorang kakak ketika bersama A. Namun perasaan itu tak berlangsung lama. Rasa nyaman dan terlindungi itu berubah menjadi rasa takut yang sangat mencekam jika Z berada di dekatnya. Jangankan dekat, hanya berpapasan saja Z merasa sudah harus memasang kuda-kuda yang pas untuk melakukan perlawanan kalau-kalau terjadi serangan mendadak.

Suatu hari, si Z meminta sebuah hadiah kepada A karena ia berhasil memenangkan sebuah lomba yang telah mengharumkan nama organisasi mereka. Dan A mengiyakan permintaan Z itu. Entah atas dasar ketulusan atau karena “ada udang”. Z yang polos sama sekali tak pernah terfikir untuk mencurigai atau berwaspada terhadap atasannya itu. Di hari yang lain, akhirnya mereka putuskan untuk pergi ke sebuah tempat di Kota Malang. Berdua, ya, hanya berdua saja. Saat itu mereka mengendarai mobil pribadi milik A.

Mereka pun sampai pada tujuan. Di tempat itulah satu tragedi terjadi. Memag bukan tragedi berdarah, namun cukup banyak menguras air mata. Tanpa ada prakata apapun, si A mulai melangsungkan niat buruknya terhadap Z. Ia mulai memeluk Z hendak menciumnya, namun Z menolak. Tangan A pun tak tinggal diam. Tangannya juga merabai bagian dada Z, tentu saja Z sangat terkejut akan hal itu. Lalu Z berusaha untuk melakukan sebuah perlawanan secara halus, perlahan ia singkirkan tangan “si buaya” itu hingga tak disadari olehnya. Rasa takut, bingung semua berkecamuk dalam fikirannya. Ia tak tahu harus lakukan apa. “Saya gak tau, saya sulit dan gak mau mengingat hal itu”, begitu jawabannya ketika penulis tanyakan apakah niat si buaya yang ingin menciumnya tersebut berhasil atau tidak. Z berhasil dicium atau tidak. Tentu penulis takkan memaksakan jawaban Z sebab hal itu pastilah sangat melukai perasaannya.

Ironisnya, kebodohan itu terulang lagi untuk kedua kalinya. Z yang lugu terperangkap dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya. Memang sangatlah manis setiap kata yang A lontarkan terhadap Z hingga membuat Z terbawa suasana. “baper” bahasa alaynya anak muda zaman sekarang. Z yang baik hati pun berfikir kalau A benar-benar sudah tobat. Namun ternyata tobatnya hanyalah tobat sambal. Kejadian yang sama pun terulang. Ketika itu A berbaik hati hendak mengantar Z pulang ke kampung halaman. Di tengah jalan sepi, A menghentikan kendaraannya. Dan diulang kembali perbuatannya yang pertama. Sama persis seperti kejadian pertama, tak jauh beda dan tak ada perbedaan sama sekali. “Terasa mati dalam hidup”, itulah yang dirasakan Z. Lagi-lagi ia didera rasa takut dan bingung yang serupa. “Kenapa diam saja? Katakanlah sesuatu. Jangan diam saja”, ucap A. Z yang malang tetap tak membuka suara, barang sepatah kata pun tidak. Fikirannya terbang melayang bersama rasa sesal yang tiada duanya.

Entah dosa apa sehingga ia harus dihadapkan pada kebodohan yang sama sampai dua kali, pikir Z. Mulai saat itu Z putuskan untuk tidak lagi mempunyai hubungan apapun dengan A. tak mau lagi terlibat apapun dengan A. Cukup sudah penghinaan yang ia dapat selama ini. Pada mulanya ia berfikir, jika hanya kepadanyalah A berbuat seperti itu. Namun serapi apapun bangkai ditutupi pastilah baunya akan tercium juga. Z kembali harus dihadapkan pada kenyataan, memang kepada semua wanita A bersikap demikian. Tak ada maksud untuk bersungguh hati, hanyalah demi kepuasan dirinya semata. Oh, sungguh Z yang malang.

Terlepas dari kisah yang memilukan itu. Saya tegaskan kembali, dua contoh di atas sudah termasuk dalam tindak pidana. Hal ini tidak serta merta saya lontarkan tanpa acuan hukum yang jelas. Hal ini telah diatur dalam bentuk pasal pada KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (WETBOEK VAN STRAFRECHT) bab XIV tentang KEJAHATAN TERHADAP KESUSILAAN, yang berbunyi sebagai berikut:

1.  Pasal 281 : Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Dengan ketentuan yang terdapat pada ayat (1) “Barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan”; (2) “Barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan”.

2.   Pasal 282 : ayat (1) “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan”.

Mengenai kesusilaan. Apakah yang dimaksud dengan kesusilaan itu sendiri? Kesusilaan atau norma kesusilaan adalah peraturan sosial yang berasal dari hati nurani yang menghasilkan perilaku atau akhlak, sehingga seseorang dapat membedakan sesuatu yang dianggap baik dan sesuatu yang dianggap buruk. Barang siapa yang melanggar norma ini berarti dianggap sebagai orang yang asusila atau tidak bermoral. Pada dasarnya, norma kesusilaan inilah yang membuat kita pantas disebut manusia dan yang membedakan antara manusia dengan makhluk Tuhan lainnya.

Pembaca tentu sudah dapat menilai dan menimbang. Apakah dua contoh kisah di atas termasuk tindak asusila atau tidak. Saya pribadi menilai, tindakan di atas sudah termasuk tindak asusila karena termasuk perbuatan buruk yang dapat merusak martabat dan kehormatan seseorang.

Pertanyaannya sekarang, pantaskah hal itu diperbuat oleh seorang yang mengaku mahasiswa? Senior terhadap junior bahkan. Tindakannya sama sekali tidak mencerminkan identitasnya sebagai mahasiswa. Dan apa hendak dikata jika kejadian yang demikian benar-benar telah menimpa seorang wanita. Kader PMII bahkan, dan oleh senior PMII pula. Tetapi, “saya sama sekali tidak menyalahkan PMII dan sedikitpun tak pernah terbesit fikiran untuk membenci PMII. Hanya oknum itu saja. Saya memilih untuk tidak lagi aktif di PMII bukan berarti saya berkhianat, jiwa saya tetap PMII namun biarlah saya gunakan cara saya sendiri dalam ber-PMII”, ungkap narasumber pertama. Narasumber kedua pun sama, “saya lebih memilih megikuti kegiatan yang bermanfaat, bukan berarti PMII saya anggap tidak bermanfaat. Hanya, saya belum bisa move on dari ketakutan yang berkecamuk dalam fikiran saya sendiri. Haha”, begitu jelasnya.

Dua kejadian menimpa dua pribadi yang berbeda, disikapi dengan cara yang berbeda pula. Y dengan sejuta kelemahan dan kerapuhannya dan Z dengan mentalnya yang tak mudah digentarkan angin ribut sedahsyat apapun. Namun muaranya tetap sama, kejadian yang menimpa mereka tersebut telah menjadikan mereka merasa kapok untuk melanjutkan kiprahnya di dunia PMII. Dunia yang tidak lagi dianggap aman oleh mereka. Bahkan sangat mengerikan di mata mereka. Tetapi, mereka berdua mempunyai satu harapan besar. Agar hal yang menimpa mereka berdua itu takkan lagi terulang pada orang lain.

Sebagai manusia biasa, wajar bila mempunyai rasa kapok, trauma dan sejenisnya. Hingga mawas dirilah jalan satu-satunya yang harus dipilih. Dua contoh di atas adalah 1 : 10 jika dilihat dari kisaran perbandingan. Oleh karenanya, diharapkan respon terbaik dari pihak yang berwenang. Diperlukan gerakan preventif demi kemaslahatan bersama. Semoga tulisan ini dapat menjadi acuan demi kebaikan PMII selanjutnya.

#Salampergerakan


Penulis : Ayatul Husna
0 Komentar "The Voice of Silent Majority"
Back To Top