![]() |
Penulis: Nur Laila Fisqiyatul Jannah |
Mari
menilik sedikit beberapa devinisi kata Liberal,
kata “Liberalis” yang dipilih sebagainama
jargon Rayon Averrous tentu tidak serta merta ditentukan, namun telah melalui diskusi dan pemikiran yang cukup mendalam. Saya kira bukanlah persoalan nama, tergantung dari bagaimana hal ihwal
para senior dan kader-kader
PMII. Liberal jika dilihat dari segi makna berarti “Sebuah ideologi,
pandangan filsafat,
dan tradisi politik
yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik
yang utama”. Secara umum Liberalis mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
Kata-kata Liberal diambil dari bahasa latin yang artinya bebas dan bukan budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan
orang lain. Dalam konteks sosial Liberalis diartikan sebagai suatu etika sosial yang membela kebebasan
(liberty) dan persamaan (equality) secara umum. Perlu digaris bawahi
di sini, Liberalis bukan berarti bebas bertindak sesuka hati tanpa menghiraukan AD/ART PMII yang telah ditetapkan dan diterapkan sejak
lama, apalagi sampai menyimpang dari aturan syariat islam.
Tapi yang dimaksudkan di sini adalah kebebasan berfikir dan cara pandang kader dalam penentuan sikapnya.
Dari berbagai devinisi
di atas, sekilas yang dapat disimpulkan dari potret kata “Liberal” adalah penolakan terhadap adanya pembatasan khususnya pada pemerintah dan
agama. Namun tidak pada PMII. PMII tetaplah menjadi sebuah pergerakan yang berlandaskan nilai-nilai keislaman,
sebagaimana yang tercantum dalam
NDP (Nilai Dasar Pergerakan)
bahwa nilai-nilai Islam mendasari, memberi spirit dan élan vital
pergerakan yang meliputi cakupan iman (aspek iman),
Islam (aspek syari’ah), dan Ihsan
(aspek etika dan akhlak). Sedangkan nilai-nilai keindonesiaan memberi
area berpijak, bergerak dan memperkaya proses aktualisasi dan proses dinamika pergerakan. Oleh karenanya,
keduanya harus balance
(seimbang) dan senantiasa berjalan beriringan.
Tulisan
yang dimuat dalam artikel pertama adalah pandangan umum penulis mengenai citra PMII Al-Qolam dan sama sekali tidak membahas oknum ataupun jargon Rayon.
Dan bahkan penulis artikel pertama pun, saya yakin bahwa dia juga ikut serta menyetujui dalam penentuan nama jargon Rayon.
Tetapi, tanggapan pada artikel kedua seolah-olah menjadi pihak yang tertuding dalam tulisan yang telah dipaparkan dalam artikel pertama.
Sejatinya,
semua orang bebas berekspresi sesuai dengan keinginannya namun juga bukan berarti tidak membutuhkan kritikdan saran dari
orang lain. Apa salahnya dikritisi ? Mengkritisi ? Jika hal itu yang nantinya akan membawa perubahan untuk menjadi lebih baik.
Kembali pada fungsi NDP yang
pertama, yakni NDP berfungsi sebagai kerangka refleksi, dimana NDP
adalah sebagai wadah, sebagai ruang untuk merenungkan kembali setiap pergerakan dan tindakan organisasi. Serta sudah menjadi kewajiban setiap anggota maupun kader PMII untuk mengadakan sebuah refleksi terkait pergerakannya di dalam organisasi, apakah pergerakan dan tindakannya sudah sesuai denganNilai Dasar Pergerakan. Maka suatu hal yang wajar jika penulis artikel pertama menuliskan refleksi tentang pergerakan dan pandangannya terhadap apa yang ia lihat serta ia rasakan di
lingkungansekitarnya.
Kader-kader
yang dilahirkan PMII adalah orang-orang yang bertanggung jawab juga tidak pernah menyalahgunakan nama PMII untuk kepentingan pribadinya masing-masing. Namun bagaimana dengan realita yang terjadi? Apakah kita harus menutup mata dan telinga? Sedangkan semuanya nampak begitu jelas dihadapan mata dan begitu ramai terdengar di telinga.
Tambahan uraian dari saya, mengenai poin pertama dan kedua yang tercantum dalam artikel pertama, Sebagian mungkin merasakan hal yang wajar berpedoman kepada faham “hablumminannas”
yang terdapat dalam rumusan Nilai Dasar Pergerakan. Tetapi pertanyaannya sekarang, apakah semua orang memiliki asumsi yang sama ? Saya rasa tidak. Sebagian malah merasa tidak nyaman dan bahkan lebih memilih untuk fakum dari PMII sebagai ekspresi ketidaksetujuan mereka atas fenomena tersebut.
Selanjutnya,
pada poin kelima mengenai kesetaraan gender dengan pemahaman yang keliru. Perlu ditekankan kembali, bahwa fitrah wanita sebagai ma’mum laki-laki. Bukan berarti tidak mempunyai hak kebebasan yang sama dengan laki-laki, tapi bagaimanapun juga ruang gerak wanita lebih terbatas dibanding laki-laki. Dalam kehidupan berkeluarga misalnya, Al-Qur’an
dengan gamblang mengungkapkan akan kesejajaran hak-hak wanita dengan pria.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan
para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya.” (Q. S.
Al-Baqarah: 228)
Dengan itu, problematika yang
sedang terjadi saat ini sangat perlu diberikan jalan tengah oleh pihak yang berkuasa di
PMII Komisariat Al-Qolam. Juga kemauan semangat juang para kader dan anggota untuk membuat sebuah pembaharuan demi tujuan
PMII untuk mendidik kader-kader bangsa dan membentuk pribadi muslim Indonesia yang
bertaqwa kepada
Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Karena PMII dalam sejarahnya merupakan pelopor, pembaharu dan pengemban amanat intelektual dalam meningkatkan harkat martabat bangsa Indonesia.
#Salampergerakan
0 Komentar "NDP Sebagai Kerangka Refleksi Moral Kader"