Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

ASWAJA Sebagai Manhaj Al-Fikr, Benarkah ?

Oleh: Herwiningsih

“MAHASISWA”, Betapa mudah menyebut dirinya sebagai kaum intelektual. Tanggapan yang sungguh menggelitik, memicu gelak tawa luar biasa. Namun apresiasi yang luar biasa tetap kami hibahkan kepada penulis Liberalis “Sebagai proses berfikir dan bertindak tanpa melanggar nilai-nilai PMII”. Dan dengan argumen yang luar biasa pula ia mampu membangunkan para pendekar pena yang masih terlelap dalam tidurnya.
            Melihat argument yang disampaikan oleh mantan ketua rayon Liberalis Averous itu. Membuat kami sekalian kembali berfikir akan pentingnya memahami terlebih dahulu terhadap berbagai tulisan yang disajikan dihadapan kita. Baik pemahaman mengenai dalil Al-Qur’an, Hadist, opini, ataupun bidang keilmuan yang lain. Sehingga dengan demikian kita mampu memberikan tanggapan dengan pikiran yang jernih, tanpa adanya kesimpangsiuran.


            Jauh sekali cara pandang mantan rayon Liberalis Averous itu. Pandangannya menelisik jauh kedalam idiologi Liberalisme. Namun sejatinya penjelasan yang terpapar dalam artikel PMII AL-QOLAM “Wadah Pembentuk Karakter Kader Liberalis” lebih menitik beratkan kapada ruang lingkup pergaulan para kader. Kata liberalis yang kami angkat adalah liberal (bebas) dalam pergaulan, bukan liberalis dalam ranah idiologi. Ia pun membuka kunci mengenai Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr dalam PMII.
Jika kita menyelami aswaja lebih dalam, otomatis kita mengetahui bahwasanya PMII adalah organisasi yang mengikuti Sunnah Rasul, para Sahabat, dan Tabi’in. Yang mana hal tersebut tertuang jelas dalam tujuan, tritologi PMII, dan nilai-nilai dasar pergerakan. Yakni metode berpikir tanpa fanatisme dan radikalisme. Namun dalam hal ini kami masih dibuat ragu dengan realita yang terlihat di hadapan kami. Seakan Aswaja hanya sebatas lebel, tanpa adanya pengaplikasian yang jelas. Dengan demikian masihkah orang lain yang bersalah melihat realita tersebut.
Akhirnya kami pun mulai khawatir melihat penjelasan dari mantan rayon liberalis averous ini. Yang tanpa disadari memaklumkan celah-celah yang merobohkan PMII. Diantaranya membiarkan hubungan romantisme yang keluar dari koridor islam dan para kader yang melunturkan ketauhidan nya. Padahal catatan yang kami paparkan tak lagi hoax, melainkan telah melewati verifikasi. Kemudian ia pun bertanya mengenai tercapainya sebuah tujuan dikala para kader nya menyimpang dari nilai-nilai PMII. Pertanyaan yang membuat perut kami terkocok, jelas kita tahu akan tujuan PMII “membentuk pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudiluhur, berilmu, cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia”. Dan nilai-nilai dasar pergerakan Hablumminallah, Hablumminannas, dan Hablumminalalam. Jadi jelaslah tujuan tersebut tidak akan tercapai jika ketiga nilai dasarnya dihilangkan. Perlu digaris bawahi kembali akan nilai Hablumminallah, sejatinya nilai inilah yang menghubungkan akan terwujudnya pribadi muslim yang bertakwa dan berbudiluhur. Hablumminannas dan Hablumminalalam sebagai jembatan mencapai tanggung jawab dan komitmen dalam memperjuangkan cita-cita bangsa. Sehingga pengaplikasian aswaja tersebut akan jelas adanya. Jika para kader menafikan nilai-nilai di atas, barang kali ia pun masih dangkal akan pemahaman terhadap hak ikat aswaja yang terkandung dalam tujuan, nilai dasar dan tritologi PMII.
            Ditambah pula dengan pertanyaan kedua, yang semakin mengocok perut kami. Persoalan apakah bisa seorang kader menilai organisasi yang mereka ikuti. Pada kenyataannya kader sendirilah yang menyajikan catatan kebenaran tersebut melalui analisisnya. Yang mulanya mulut kami terbungkam, karena keteledoran para pemimpin. Akhirnya kami pun angkat bicara. Melihat argument yang demikian, akhirnya kami pun kembali mengingat sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan syiir “TanpoWathon”
Duh bolo konco priyo wanito ojo mung ngaji syareat bloko gur pinter dongeng nulis lan moco tembe burine bakal sang soro…
Akeh kang apal quran hadise seneng ngafir kemarang liyane kafire dewe dakdi gatekke yen isih kotor ati akale…
Nampak jelas bukan dengan lantunan syair di atas masih sangat jauh sekali pemahaman para kader terhadap Aswaja yang keliru. Melupakan nilai-nilai luhur dalam PMII dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dalam kehidupan berorganisasi. Serta bersifat apatis dengan kerusakan yang jelas-jelas terjadi.
            Maka dengan demikian argument yang disampaikan oleh mantan ketua rayon tersebut tanpa disadari merupakan bentuk pembelaan terhadap oknum terkait. Yang seakan menafikan nilai-nilai luhur PMII. Dengan demikian perlu adanya pengkajian ulang terhadap Aswaja itu sendiri. Baik dari oknum terkait atau pun bagi seluruh kader PMII. Sehingga nantinya tidak ada tumpang tindih dalam pengaplikasiannya. Dan kita tidak termasuk orang yang dilantunkan dalam syiir tanpo wathon tersebut.
Tag : Liberalis, Puisi
0 Komentar "ASWAJA Sebagai Manhaj Al-Fikr, Benarkah ?"
Back To Top