Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

MENYOAL JATI DIRI MAHASISWA


Mahasiswa takut pada Dosen...
Dosen takut pada Dekan...
Dekan takut pada Rektor...
Rektor takut pada Menteri...
Menteri takut pada Presiden...
Presiden takut pada Mahasiswa...

Petikan puisi ini adalah penggalan dari sajak seorang sastrawan ternama Indonesia, Taufik Ismail, pada tahun 1998 yang lewat. Puisi di atas merupakan gambaran jejak gerakan heroisme para mahasiswa yang tak sejengkalpun terhenti untuk memperjuangkan negaranya dari kungkungan takdir kenistaan dengan terus menerus mengawal jalannya pemerintahan.

Fakta. Di tahun-tahun itu kursi presiden Soeharto betul-betul terjungkal dari tahta kekuasaan. Gelombang gerakan besar yang menjatuhkan sang "raja" tidak lain dimobilisir oleh mahasiswa. Bertepuk dada, bersuara lantang dan murni demi keadilan serta kesejahteraan negrinya, para mahasiswa bergerak serentak menginjak-injak kedunguan brutus kekuasaan sebagian orang-orang di gedung dewan yang konon katanya wakil rakyat. 

Merekalah gerbong reformasi sejati yang mengorbankan segalanya demi perubahan tanah airnya. Pagar besi militerisme dengan perlawan yang gigih bisa dipatahkan secara perlahan, kendati nyawa empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta harus jadi tebusannya. Sangat nyata di depan mata, Mei 1998 itu benar-benar menjadi momentum bersejarah meletusnya peristiwa Tragedi Trisakti. Disamping beberapa anak bangsa harus meregang nyawa akibat timah panas sang serdadu, pada kasus yang tak pernah terurus itu puluhan lainnya menderita luka-luka. 

Walaupun belakangan gaung mahasiswa tertutupi oleh ketenaran sederet nama-nama orang (mohon maaf, tidak dalam rangka mengagungkan) yang ditokohkan. Sebut saja kala itu muncul sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati, Nurcholish Madjid, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Amien Rais, dan lain-lain yang sementara sanggup memalingkan konsentrasi dan perhatian publik, termasuk di dalamnya, para kuli tinta. Kenyataan ini jelas menunjukkan betapa jerih payah yang dipersembahkan kalangan mahasiswa untuk tumpah darahnya tak pernah dihitung.

Memang tidak terbantahkan bahwa orang-orang tersebut merupakan tokoh-tokoh reformis yang digadang mampu dan pantas dijadikan kiblat gerakan perubahan. Lewat aura para tokoh itulah, barisan mahasiswa merelakan dirinya menjadi tumbal perjuangan memperebutkan kemerdekaan dari keterpasungan otoritarian. Bahkan atas nama demokrasi yang ingin dinikmati, kaum anak muda itu tak segan-segan memajukan dirinya menjadi anak panah menghadapi pelor senapan tentara istana sekalipun. Para mahasiswa tatkala itu rela berada pada posisi bemper yang siap beradu dengan siapapun yang menghalangi laju roda reformasi.

Peran mahasiswa masa orde baru merupakan rentetan ukiran emas dalam sejarah bangsa Indonesia semenjak 1966 ketika dengan jiwa mudanya mampu menggulingkan Soekarno dari klaim "Presiden seumur hidup" yang disimbolkan sebagai otoritarianisme negara zaman orde lama.

Sejarah mencatat bahwa eksistensi mahasiswa yang berfungsi sebagai agen perubahan (agent of change) dalam kehidupan bermasyarakat, nyata benar telah menggiring opini publik bahwa mahasiswa merupakan komunitas berbasis intelektual dengan kiprah penuh keberpihakan kepada kaum tertindas (mustadl'afin) dari tirani ketidakadilan dan kelaliman.  Banyak kalangan di tengah masyarakat menaruh harapan besar di pundak kaum akdemisi itu agar kehidupan bernegara terbingkai dalam bentuk masyarakat yang berdaulat dalam bentuk ideologi bangsa yang tidak terpasung oleh keterjajahan bangsa sendiri apalagi hanya mengekor dibawah ketiak negeri lain, baik secara politik, ekonomi maupun budaya.

Kenapa mahasiswa?
Sebab merekalah bagian strata yang dipandang lebih tercerahkan (enlightenment people) dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Masa dimana menjadi peserta didik di perguruan tinggi merupakan zaman paling produktif, karena titik puncak perkembangan tepat berada di dalam jati diri mereka setelah sebelumnya menjelajah proses pencarian status yang dimulai dari dunia sekolah menengah atas. Ya, universitas telah benar-benar menjadi candradimuka yang menempa mereka supaya tumbuh menjelma menjadi manusia yang memiliki daya kritis, kepedulian dan kepekaan tinggi. Dari rahim lembaga tinggi inilah diimpikan mampu melahirkan calon pemimpin bangsa yang layak dan tangguh dalam segala macam situasi, sebab selalu saja perguruan tinggi diancang sebagai gudang calon pemimpin (iron stocks) masa depan. Muncul sosok yang mempunyai kemampuan dirinya sebagai penjaga kebijakan (social control) pemegang kekuasaan. Terbit pribadi-pribadi yang berkompeten menduduki posisi penjaga nilai-nilai (the guardian values).

Sayangnya, sudah tak terbilang mahasiswa yang mulai terkontaminasi oleh gaya hidup hedonisme dan materialisme berlebihan, sehingga gerakan yang dilakukan acapkali termotivasi oleh kepentingan pragmatis.

Berapa banyak mahasiswa yang tampil membusungkan dada memperlihatkan keberaniannya saat berdemo, tetapi begitu senjata tentara diacungkan mereka mundur secara perlahan. Berapa banyak mahasiswa yang berlagak menjadi pembela "wong cilik", berkoar-koar seakan menjadi satu-satunya kelompok yang mengatasnamakan pembela kebenaran, pejuang ketidakpastian, dan memberi kesan berpihak kepada golongan tertindas, namun segala tujuan tersebut begitu mudahnya dilindas oleh latarbelakang kepentingan sesaat. Kalaupun tampak dibayangi sebuah pembelaan dan keberpihakan, itu hanya kedok menutupi langkah yang berbau politis dan bahkan sangat kentara sekali tercium aroma memiliki nuansa tendensi pribadi atau golongan. Memang, orasi-orasi dan aspirasi yang diusung menggambarkan sebuah pertisipasi dan suara-suara masyarakat, tetapi sebetulnya cuma menjadi isu-isu publik yang dibuat tameng menutupi dorongan mengeruk keuntungan berlimpah buat diri dan kroninya belaka dari upaya eksploitasi kekuatan-kekuatan pusaran politik plus pengusaha yang menjadi pemilik modal. Pada saat demikian, sebagian mereka tega bernyanyi di atas tangisan rakyatnya sendiri. Daya kritis yang seharusnya melekat dalam diri mereka begitu sangat hambar, begitu juga makna jati diri mahasiswa sebagai agen perubahan telah terkoptasi oleh tawar menawar kue-kue kekuasaan (bargaining position) dan finansial. Ancaman ini telah menggiring banyak mahasiwa pada aktifitas-aktifitas yang tidak ada relevansinya dengan pembelaan umat, tidak peka dengan lingkungan sosial, dengan nasib orang-orang lemah dan dengan kehidupan politik sekuler kapitalis. Lihatlah, orientasi gerakan kaum intelektual kampus itu berubah jalur dari pengangkatan idealisme murni kepada pengusungan pragmatisme semu yang hanya mengarah untuk menggelembungkan isi dompet tanpa berfikir lagi bagaimana tingkat kesengsaraan kaum jelata di lingkungan.

Alih-alih memikirkan hingar-bingar sistem politik kapitalisme yang kian menggurita, gaya birokrasi yang semakin tak merakyat dan kebijakan penguasa yang mulai berpihak pada luar negeri, menata gerakan yang menjadi perpanjangan aspirasi masyarakat sekitar kampus saja sudah tak terjamah. 

Kini, gerakan mahasiswa yang disinyalir kosong dari inti perubahan diakibatkan oleh budaya hedonis yang mulai merambah hampir semua anak kampus. Kondisi ini kian diperparah trend hidup materialistis yang mewabah pada semua kalangan akademisi, termasuk mahasiswa. Handphone dan laptop seringkali hanya menjadi alat menambah gaya hidup ketimbang sebagai media mempermudah tugas-tugas belajar sebagaimana fungsinya. Referensi karya-karya ilmiah tidak lagi merujuk kepada buku-buku para ahli dengan membaca dan menelusuri secara tekun, tetapi dengan gampangnya meng-copy paste tulisan-tulisan dalam Google tanpa rasa berdosa padahal relevansi muatan keilmuannya belum tentu seakurat menelaah dari sumber aslinya.

Jati diri seorang mahasiswa semakin tidak jelas ketika waktu-waktu perkuliahan yang seharusnya dijalani dengan berbagai macam kegiatan akademik justeru lebih banyak diwarnai mengumbar nafsu syahwatnya. Kepribadian mahasiswa yang dianggap oleh masyarakat sebagai kelompok terdidik ternyata sudah terdistorsi akibat perilaku yang tidak lagi mengindahkan dan bahkan menabrak norma-norma agama dan istiadat ketimuran. Padahal apabila mereka berani bertaruh, maka seluruh fasilitas yang sedang dinikmati merupakan hasil cucuran keringat kedua orang tuanya yang menaruh harapan besar dipundak mereka. Tetapi tanpa perasaan, segenap impian tersebut dengan sangat mudahnya dicederai.

Secara umum, klasifikasi mahasiswa berdasarkan tipologinya terbagi menjadi empat, yaitu: 1) Kutu buku. 2) Aktivis. 3) Kutu buku plus Aktivis. 4) Bukan ketiga-tiganya. Masing-masing polarisasi ini memiliki plus-minus dengan kadar yang berbeda-beda. Pada bagian pertama merupakan tipe mahasiswa yang tekun dan rajin dalam kelas. Ia hidup antara ruang kuliah dan perpustakaan dan selalu berkelindan di dalam pusara matakuliah, buku-buku, catatan dan tugas-tugas. Oleh karena itu, walaupun aspek nilai mahasiswa model ini selalu terjaga tetapi sosialisasi dengan lingkungan agak melambat, sehingga cara pembacaan terhadap fenomena lebih menonjol tekstual. Mayoritas tipe pertama ini terdiri dari mahasiswi. Bagian kedua adalah mahasiswa yang banyak meluangkan waktunya di dunia luar. Organisasi kemahasiswaan menjadi pilihan jalan mendewasakan kepribadiannya, sehingga ia lebih terdidik oleh keadaan dan lingkungan. Kendati jaringan yang dipunyai cukup lebar, relasinyapun tak terbatas dan cara berdiplomasi dengan berbagai mitra begitu handal namun pada sisi nilai perkuliahan lebih sering tidak terurus. Oleh sebab itu, masa semester pemuda demikian ini biasanya agak lebih panjang dari waktu semestinya. Kebanyakan cowok mendominasi model mahasiswa tipe ini dan rokok+kopi menjadi sahabat pergaulannya. Bagian ketiga ialah mahasiswa yang mampu menyatukan kedua model di atas dan menjadi sosok pelajar perguruan tinggi yang paling ideal. Kunci dari tipe begini terletak pada kepandaian mengatur manajemen waktu dan menguasai dirinya sendiri. Pada satu saat ia dapat memelihara nilai-nilai perkuliahan tetapi pada saat yang lain bisa melatih diri di dalam organisasi kemahasiswaan. Kaprahnya mahasiswa ini lebih banyak mendapat perhatian dosen ketimbang yang lain karena disamping mobilitas yang tinggi di luar kelas, ia juga punya produktivitas yang mumpuni dalam perkuliahan. Bagian keempat merupakan mahasiswa yang paling mengenaskan dibandingkan tipe-tipe sebelumnya. Perjaka demikian ini tak tampak sebagai pencari ilmu yang selalu bersemangat, baik pada proses perkuliahan maupun di dalam peran-peran organisasi. Orang ini bagai mayat hidup yang melengkapi dinamika kehidupan orang lain. Hidupnya cuma diwarnai dengan penampilan tanpa makna bagi diri dan tak begitu berarti bagi kalangan lain. 

Wabah tipe mahasiswa keempat inilah yang seringkali disorot oleh banyak pihak di masa-masa sekarang. Kemungkinan suara-suara para mahasiswa tidak lagi nyaring dikhawatirkan akibat mereka membiarkan dirinya menjelma sebagai mahasiswa tipe ini. Jika benar fakta ini telah menggejala, maka jati diri mahasiswa sebagai kaum intelektual dan agen perubahan patut dipertanyakan. Wallahu a'lam.

Oleh: Muhammad Madarik
Tag : Berita, Opini

Kiriman Terkait

0 Komentar "MENYOAL JATI DIRI MAHASISWA"
Back To Top