Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

Profesional Individualisme

Dalam sebuah kehidupan tidak terelak dengan adanya praktek-praktek yang sangat dijauhkan kepada tugas tidak sesuai dengan potensi yang ia miliki. Terkadang kita melupakan dengan adanya profesional individualisme yang memang memumpuni sesui potensiny. Tapi kita selalu menjauhkan karena dengan adanya praktek di belakangnya untuk mendapatkan timbal balik karena telah memberi suatu wewenang kepadanya walau tidak sesuai yang ia punya.

Membaca realita yang telah ada baik di media maupun secara langsung kita mendengar dan melihatnya, banyak yang mempunyai wewenang untuk memilih dan mengangkat jabatannya bukan karena profesional individualisme nya akan tetapi sebaliknya, yakni meminta timbal balik dan bisa diajak kerjasama untuk saling menguntungkan dalam mengambil kebijakan-kebijakan yang harus ia putuskan. Sehingga dalam kebijakannya tersebut menimbulkan sebuah kontra-produktif baik dari kalangan masyarakat maupun pejabat.

Yang mana kita ketahui bersama, Bangsa-bangsa lain telah menciptakan sesuatu yang baru untuk memperkenalkan Bangsa nya demi meujudkan peradaban Bangsa yang bermartabat, sedangkan Bangsa kita masih sibuk dengan mengambil suatu kebijakan yang menuai timbal balik kepada orang yang telah mempunyai konspirasi baik internal (Bangsawan) maupun eksternal (Pihak Asing) tersebut.

Reproduksi suatu pertiakaian yang tak kelar ujungnya merupakan sebuah tuntutan kita untuk memecahkannya bersama, agar tidak hanya dijadikan sebuah alat saja oleh pihak eksternal. Tak lepas lagi dengan profesional individualisme dalam sebuah jabatan, itu sangat diperlukan. Sehingga pihak internal tersebut tidak tidak sewenang-wenang untuk menerima pesanan dari pihak investor asing maupun dalam. Dalam memilih dan mempertimbangkan suatu jabatan, kita tidak lepas dengan adanya universalitas konkret yang telah dipaparkan oleh filsuf politik prancis yakni memberi tiga makna unversalitas : universalitas imperium , universalitas kebebasan dan universalitas konkret (Luc Ferry, 1998, hlm 245-246)

Pertama, universalitas imperium yang mendasari kolonialisasi. Universalitas itu merupakan palsu karena sebetulnya merupakan partikularitas Eropa yang mengklaim dirinya sebagai tempat khas perdaban. Universalitas ini tidak lain kecuali kedok suatu dominasi.

Kedua, universalitas kebebasan, misalnya Deklarasi HAM (Hak Asasi Manusia). Gagasan pokoknya adalah bahwa manusi berhk untuk dihormati. Ini merupakan universalitas abstrak yang mendefinisikan prinsip-prinsip formal (moral kantian). Universalitas ini menetapkan syarat-syarat kemungkinan minimal kehidupan bersama, bukan makna hidup bagi komunitas. J. Rawls mengatakan “Hak asasi manusia mengungkapkan standar minimum institusi-intitusi politik yang teratur bagi semu Bngsa yang termasuk dalam suatu masyarakat politik yang adil” (On Human Rights, 1993, hlm 68)

Ketiga, universalitas konkret. Contoh pling jelas ialah karya seni. Karya yang berhasil ialah objek konkret yang membuat hampir semua orang menghargai atau memujinya. Kekaguman terhadap karya seni atau monumen tertentu merupakan bentuk universalitas itu. Menurut Luc Ferry, universalitas konkret ini disebut individualisasi, artinya individu yang didefinisikan sebagai rekonsiliasi antara yang partikular dan universal (Luc Ferry, 1998, hlm 246).

Jika itu semua masih belum terlaksanakan dengan baik dan terstruktur, sampai kapanpun Bangsa kita ini akan selalu mundur, karena di dalam nya ada sebuh praktek-praktek kejahatan struktural. Dalam sebuah buku “Etika Politik & Kekuasaan” ( Haryatmoko, 2003, hlm 43). Masalahnya menjadi berbeda ketika kejahatan dilihat tidak hanaya sebagai hasil tindakan orang perseorangan, tetapi adanya eksterioriat kejahatan atau faktor luar diri manusia, misalnya kejahatan struktural.

Struktur dipahami pertama, “Sebagai aturan-aturan dan sumber daya yang berperan di dalam reproduksi sistem-sistem sosil; dn kedua, struktur dianggap sebagai yang mengacu ke bentuk-bentuk yang terintusionalisasi dalam masyarakat (Anthony Giddens, 1984, hlm. 185). Giddens mengatakan bahwa analisis prinsip-prinsip struktural mengacu ke bentuk-bentuk diferensiasi dan artikulasi dalam bentang waktu dan tempat tertentu.

Maka kejahatan strukturasi yang dominan di dalam masyarakat ialah artikulasi, domisasi, dan legitimasi (1984, hlm. 29 dan 196). Maka dapat kita simpulkan kembali bahwa apa yang penulis memparkan di atas dalam sebuah memberi pemangku kebijakan memang tidak terelakkan dengan praktek kejahatan struktural melainkan dengan adanya profesional individualisme.

Kejahatan struktural harus dilihat dari kacamata dimensi-dimensi strukturasu tersebut, terutama dari dominasi dan pencarian legitimasi, interaksi kekuasaan yang akan menghasilkan suatu dominasi sangat dipengaruhi oleh fasilitas yang ada baik ekonomi, budaya, politik maupun ideologi.

Maka dari itu agak menelisik kembali dengan adanya Organisasi Kemahasiswaan PMII dengan mempunyai Tri-Logi yang pertama Tri-motto yang mengandung komponen Dzikir, Fikir dan Amal Sholeh. Kedua Tri-Khidmat yakni Kejujuran, Kebenaran dan Keadilan. Dan yang terkhir Tri-Komitmen merupakan sebuah unsur dari Taqwa, Intelektual dan Profesional. Atas dasar itu semua, penulis mengajak kepada para membaca dengan era serba modern kita harus pro-aktif dalam mengambil suatu keputusan khususnya pada diri kita sendiri, sehingga tidak tergeluncur dalam proses yang kita jalankan.
Tag : Opini
0 Komentar "Profesional Individualisme"
Back To Top