![]() |
Oleh: Muhammad Madarik |
Hari raya Idul Adha merupakan ritual dalam Islam yang diajarkan
dan diagungkan oleh Allah SWT. Rangkaian ibadah Idul Adha dalam Islam berkaitan
erat dengan pelaksanaan ibadah haji bagi orang-orang yang tengah melakukan
rangkuman proses "bertaqarrub" melalui totalitas mental, fikiran,
fisik dan biaya di Makkah Al-Mukarramah. Sebagaimana ibadah haji,
penyelenggaraan ibadah pada hari raya kurban merupakan tapak tilas dari
beberapa jejak-jejak sejarah Nabi Ibrahim AS yang di antaranya tercakup dalam
kasus bapak dan anak seperti dikisahkan Allah SWT:
(فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي
الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ
مِنَ الصَّابِرِينَ)
[QS. 37:102]
Tentu saja, maksud Tuhan yang tercover dalam ayat di atas bukan persoalan siapa
mengorbankan siapa, tetapi hal yang paling dinilai adalah seberapa jauh
seseorang yang mengaku beriman melakukan segala kehendak dan perintah-Nya. Oleh
karenanya, di dalam banyak riwayat hadits diceritakan bahwa keharusan
mengorbankan dalam bentuk manusia diurungkan dan digantikan dengan seekor
hewan. Sekalipun jenis barang yang harus dikorbankan telah ditukar, inti yang
ingin dicapai dari berkurban bukan masalah materi, namun sampai dimana sikap
ketertundukan seorang hamba atas perintah Tuhannya sebagaimana ditegaskan Allah
SWT dalam Al-Qur'an:
(لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ
يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ)
[QS. 22:37]
Salah satu indikator ketakwaan seperti dalam ayat ini ialah totalitas
kepasrahan kepada-Nya dengan sepenuh hati mengeluarkan sedikit rupiah dari
sekian anugerah yang telah diterimanya. Ketakwaan dengan indikasi ketaatan dan
kedermawanan inilah yang dimaksud Tuhan seperti dalam firman-Nya:
(لِلْمُتَّقِينَ * الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ)
[QS. 02:02-03]
MENYUSURI LANGKAH IBRAHIM-ISMAIL
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Idul Adha merupakan cerminan dari napak
tilas sebagian laku Nabi Ibrahim yang diperintahkan untuk mengorbankan putra
kesayangannya. Tetapi di luar dugaan, dengan rendah diri dan penuh ketulusan,
Ismail kecil meyakinkan sang ayah dengan jawabnnya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Setidaknya terdapat dua hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa Nabi Ibrahim
dan Nabi Ismail dalam konteks relasi seorang bapak dan anaknya: Pertama, sher
pendapat Nabi Ibrahim kepada putranya tentang perintah Tuhannya itu. Kedua,
jawaban tegas dan meyakinkan dari seorang anak merespon perintah Tuhan
tersebut.
Membaca kasus Nabi Ibrahim yang mengajukan pertanyaan guna ingin memperoleh
pendapat bisa disimpulkan betapa Nabi Ibrahim begitu sangat demokratis dalam
menentukan dan memutuskan sebuah sikap. Padahal ketika itu, sang anak masih
berumur 7 tahun (ada pula yang berpendapat Ismail sudah berumur 13 tahun). Di
luar polemik ulama soal usia, betapapun diambil pendapat bahwa Nabi Ismail
ketika itu sudah menginjak umur 13 tahun, tentu bisa dibayangkan tipologi Nabi
Ibrahim memiliki jiwa kepemimpinan yang mumpuni. Dalam persoalan genting
menyangkut nyawa seseorang dan bahkan anaknya sendiri, Nabi Ibrahim
menyempatkan diri mendengarkan dan menyimak pendapat putranya yang masih
sangat belia.
Inilah salah satu hikmah dari sebuah pendidikan ayah terhadap anak-anak yang
perlu diteladani oleh setiap orang tua. Perlakuan Nabi Ibrahim kepada Nabi
Ismail seperti tergambar dalam kisah itu memuat nilai-nilai pendidikan yang
berdampak positif bagi keluarga masa kini, di antaranya:
Memposisikan Anak Sebagai Mitra.
Keterlibatan anak dalam semua proses dan perkembangan di dalam keluarga
merupakan bagian dari penghargaan bagi anak-anak. Menumbuhkan perasaan
"merasa dihargai" cukup penting dilakukan oleh orang tua sebab
dimulai dari perasaan ini rasa "percaya diri" bakal mewarnai
pembentukan kepribadian yang tengah berproses.
Sayangnya, seringkali aspek ini luput dari perhatian para orang tua. Bahkan
sikap meremehkan terhadap kreatifitas berfikir anak-anak menjadi kebiasaan
harian yang tak lekang dari kehidupan seputar dunia anak, sehingga alam anak
semakin menjauh dari jamahan para orang tua. Memang, semua kalangan memaklumi
bahwa tidak semua urusan harus perlu pertimbangan anak, terlebih
masalah-masalah genting yang berhubungan dengan perkara orang dewasa. Tetapi
jika terkait dengan persoalan yang melibatkan mereka secara langsung, maka
keikutsertaan mereka seminimal apapun perlu dipertimbangkan oleh para orang
tua. Bukankah semangat saling berembuk (musyawarah) sudah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW bersama para sahabatnya seperti dijelaskan dalam Al-Qur'an:
( وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ)
[QS. 42:38]
Tentu spirit merangkul anak dalam lingkar bertukar pikiran sejak dini akan
membuahkan ragam hasil; [1] mendidik mereka bersikap dewasa, [2] mengajarkan
pada mereka cara bernalar dan berfikir kritis meskipun terhadap orang tuanya,
[3] memberikan kesadaran bahwa semua komponen (termasuk anak-anak) mempunyai
peluang untuk salah dan memiliki kesempatan untuk benar.
Kepasrahan Anak Kepada Orang.
Seperti kisah di atas, dengan tegar Nabi Ismail memberikan jawaban: "Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Ucapan Nabi Ismail ini
sungguh luar biasa. Betapa tidak, pencabutan nyawa atas dirinya yang menjadi
topik tawaran, namun serta merta sang anak merespon dengan kepasrahan total.
Semua orang tua bakal tercengang melihat fakta demikian ini; seorang anak
menyerahkan nyawanya demi menuruti permintaan ayahnya untuk melaksanakan sebuah
perintah Tuhan. Padahal apabila di nalar, permintaan itu cukup sulit untuk
dirasionalisasi; sebuah titah Tuhan yang diterima hanya lewat mimpi, sementara
hal yang diminta menyangkut soal nafas seseorang. Tentu bukan persoalan
ketundukan seorang anak kepada orang tuanya yang patut diperbincangkan, namun
asal usul terciptanya buah hati yang berkepribadian tulus ikhlas menuruti
doktrin orang tua. Jika dirunut, disamping perjalanan hidup Nabi Ibrahim yang
dipenuhi berbagai macam dinamika berliku dan terjal menghadapi kaumnya yang
kufur, ia juga mendekatkan diri kepada Allah SWT (bermunajat) saat kedua
tangannya ditengadahkan di bawah naungan Arasy Keagungan Tuhannya seraya
memohon putra seperti dikisahkan Allah SWT dalam Al-Qur'an:
(رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ)
[QS. 37:99-101]
Ismail muncul dalam bentuk sosok anak yang teguh dengan kepribadian yang kukuh,
bukan tercipta begitu saja atau terlahir dari proses kebetulan. Tetapi dalam
konteks wujud Nabi Ismail sebagai seorang anak shaleh di mulai dari tipe orang
tua yang benar-benar menjalani hidup menghamba di tengah pelataran
ketidakmampuan, sehingga ia menggantungkan diri di bawah ke-mahabesar-an
Tuhannya.
Tatkala itu, Nabi Ismail merupakan seorang anak yang sudah punya daya berfikir,
terbukti pertanyaan yang diajukan Nabi Ibrahim adalah "maka fikirkanlah
apa pendapatmu!". Nabi Ismail pasti sadar dengan muatan pertanyaan
tersebut, namun ia telah sigap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi,
termasuk kematian sekalipun.
Keberadaan Nabi Ismail yang tampil sebagai putra shaleh inilah yang perlu di
sorot oleh semua kalangan, utamanya para orang tua, di masa sekarang. Betapa
bahagia orang tua yang memiliki buah hati sebagaimana layaknya Ismail.
Lebih-lebih di masa kini yang banyak sekali bermunculan kenakalan remaja tanpa
kendali, mulai dari fenomena anak melawan atau malah justru membunuh orang
tuanya sendiri, kasus terjebak narkoba yang terdiri dari generasi muda hingga
perilaku seks bebas yang mayoritas anak bangsa.
Padahal sikap minimal dalam interaksi antara orang tua dan anak yang melahirkan
rasa "terluka" orang tua sudah menjadi larangan keras seperti
termaktub di dalam Al-Qur'an:
(فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا
كَرِيمًا)
[QS. 17:23]
Betapapun hanya kata "uf" atau yang semakna dengan kalimat itu,
asalkan telah membuat orang tua terkulai, sudah cukup alasan untuk tidak pernah
dilakukan oleh seorang anak. Apalagi sampai mendurhakai sosok yang telah
memperjuangkan setiap hitungan nafas dalam hidupnya tanpa pamrih itu.
Namun dalam konteks kehidupan zaman modern ini, menyematkan kekeliruan
sepenuhnya kepada anak tanpa mengeja kelalaian orang tua bukan cara berfikir
yang bijak. Oleh karenanya, semua kalangan orang tua mempelajari dan sekaligus
mengajarkan sosok Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail merupakan salah satu solusi
menemukan keluarga islami yang teduh, tenang dan tentram.
(PPRU
I, Idul Adha 1437 H)
Tag :
Opini
0 Komentar "IBRAHIM-ISMAIL: CERMIN KELUARGA IDEAL (Refleksi Hari Raya Kurban)"