Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

MENGURAI KONSEP KEPEMIMPINAN (Telaah Atas Pemikiran dr. Bambang Eko Sunaryanto)


Oleh: Muhammad Madarik
Dr. Bambang Eko Sunaryanto, direktur utama RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Malang, memformulasikan kemampuan kepemimpinan (leadership) ke dalam akronim: kriteria lima empat tiga dua satu. Tetapi dalam tulisan singkat ini, penulis sengaja mengupas lima pertama dari formulasi tersebut. Kelima hal itu meliputi Kriteria 5 [lima] yang tersusun sebagai betikut:

1. Kedisiplinan.
2. Tanggungjawab.
3. Motivasi.
4. Kebanggaan.
5. Keikhlasan.

Sebagai bagian dari materi yang dapat digunakan untuk motivasi diri, formulasi tersebut bisa diuraikan lebih rinci sebagai berikut:

Disiplin
 
Kata ini merupakan ungkapan lain dari kalimat: "Konsisten" yang mengandung makna teguh. Sikap yang menggambarkan selalu kukuh dan komitmen pada hal yang seharusnya dilaksanakan dalam beberapa aspek: Pernyataan (statemen) dan perilaku (sikap). Pada sisi statemen, seseorang yang memiliki kedisiplinan memaknai sebuah perkataan mengikat untuk diwujudkan dalam pengertian memagari dirinya tanpa dibatasi waktu, tempat dan pengaruh-pengaruh. Ucapan orang yang mempunyai kadar keistiqamahan tinggi benar-benar selaras dengan keteguhan sikap yang secara terus menerus dipertahankan, walaupun harus mempertaruhkan apa saja termasuk nyawa sebagai imbalannya. Jika ia mengatakan merah, maka ungkapannya akan tergambar dalam setiap langkah-langkah hidupnya yang berada di garis merah sebagaimana ucapannya itu. Konsistensi kata dan laku merupakan standar kedisiplinan yang menjadi bagian dari tolok ukur seseorang memiliki tanggungjawab. Hal ini tergambar dari firman Tuhan yang menggarisbawahi kelalaian seseorang yang kurang mengindahkan komitmen antara ucapan dan sikap:

(كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ)
[QS. 6:03]
 
Dalam aspek perilaku (sikap), istiqamah lebih banyak dikaitkan dengan pemaksimalan dalam penggunaan waktu. Memaksimalkan tersebut dalam arti yang luas dan mencakup segala aktivitas dan dimensi masa. Sebetulnya secara normatif, makna penting wujud masa bagi kehidupan sudah diilustrasikan dalam Al-Qur'an:
 
(وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا)
[QS. 91:01]
(وَالْعَصْر إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ِ)
[QS. 103:01-02]

Kedua ayat ini diungkapkan oleh Allah SWT dalam bentuk susunan "sumpah" dengan menggunakan kalimat bermakna "waktu" sebagai materi ujaran-Nya. Hal ini jelas-jelas menggambarkan betapa waktu merupakan sesuatu hal yang dianggap penting bagi manusia.
Tentu saja pemanfaatan waktu berkaitan erat dengan pengaturan (manajemen waktu) yang tepat serta berkelanjutan sebagai sebuah cerminan dari konsistensi yang teguh. Kegiatan yang tidak dilandasi tata kelola waktu yang tepat itulah yang diingatkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
[HR. Bukhari].

Kendati terkadang toleransi harus dilakukan pada saat-saat dibutuhkan, tetapi hakikatnya hanya sebagai strategi perjuangan dan lebih layak disebut improvisasi metode dakwah guna melayani kondisi kemajemukan masyarakat. Tetapi yang terpokok, kedisiplinan yang menyangkut pernyataan (statemen) maupun perilaku (sikap) memperoleh jaminan keselamatan dan kegembiraan dari Allah SWT sebagaimana difirmankan:

(إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ)
[QS. 41:30]

Tanggung Jawab

Sikap ini harus dimiliki oleh setiap orang dalam segala langkah hidup. Sekalipun bukan dalam konteks kepemimpinan, rasa tanggungjawab merupakan landasan mendasar yang perlu melekat pada masing-masing individu. Perilaku bertanggungjawab merupakan bentuk sebuah sikap yang bakal melahirkan kepercayaan publik. Karenanya, Allah SWT benar-benar mengingatkan persoalan kepercayaan wajib ditanamkan pada diri seseorang hingga menjadi suatu kepribadian seperti tercover dalam firman-Nya:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ)
[QS. 08:27]

Sikap bertanggungjawab memunculkan rasa percaya bagi orang lain. Sosok demikian ini di sebut "Al-Amin" sebagaimana julukan pertama yang disandangkan kaum Quraisy Makkah kepada Nabi Muhammad SAW sekalipun pada saat itu umur beliau masih muda. Sedangkan tanggungjawab memegang teguh kepercayaan pihak lain dinamai "amanah". Kepercayaan inilah di pandang sebagai hal yang tidak bernilai dan tak terbeli oleh siapapun dan berapapun. Adapun kebalikan "amanah" ialah perilaku "khianah", sebuah sikap yang bisa mengubur kepercayaan orang lain. Sebab itulah, salah satu sifat yang bukan termasuk sifat Rasulullah SAW sebagai utusan Tuhan dan makhluk mulia adalah "khianah".

Bila merujuk pada ayat di atas, maka bisa dipilah bahwa larangan pengkhianatan ditujukan kepada manusia beriman sebagai pribadi yang mempunyai basis keyakinan kepada Sang Pencipta dipastikan melatari sikapnya dengan "amanah" dan menghapus perilakunya dari "khianah". Klasifikasi pengkhianatan seperti diuraikan dalam ayat tersebut berjenjang, yaitu kepada Tuhan, Rasul-Nya dan kepercayaan-kepercayaan (amanah) orang lain. Walaupun kadarnya berbeda-beda pada masing-masing jenjang, tetapi kelakuan berkhianat pasti berdampak, baik dalam ranah personal maupun sosial. Apalagi dalam konteks kepemimpinan, tentu konsekuensinya akan lebih berbahaya dan meluas. Sebab status pemimpin merupakan kepercayaan (amanah) yang disematkan di atas pundak seseorang dengan berbagai tugas-tugas yang diemban, di antaranya menaungi orang lain di luar dirinya.
Kaitan dengan kepemimpinan, ajaran Islam sangat menjunjung tinggi tanggungjawab sebagaimana diungkapkan Nabi Muhammad SAW dalam sabdanya:

عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
[HR. Bukhari-Muslim]

Dalam hadis ini dijelaskan bahwa selayaknya semua orang yang hidup di muka bumi memikul tanggunjawab, begitu pula seorang pemimpin harus memilki tanggunjawab sebagai bagian dari etika paling pokok dalam kepemimpinan. Secara mendasar semua manusia merupakan pemimpin, sekurang-kurangnya terhadap dirinya sendiri. Oleh karenanya, rasa tanggungjawab secara individu tidak boleh sirna dari setiap personal sebab pertanggungjawaban yang benar-benar menjadi tuntutan kelak di hari pembalasan di akhirat. 

Dalam ukuran minimal, pemimpin yang dinilai bertanggungjawab setidaknya mampu menampakkan upaya maksimal dalam menyelesaikan tugas dan kewabannya sampai batas titik ketidakkuasaan dirinya sebagai manusia. Pada sisi ini, tentu asas  permusyawaratan, saling pengertian, dan keterbukaan akan menjadi pintu pertama terhadap kemungkinan saling memahami semua pihak, termasuk struktur dibawahnya. 

Motivasi

Kata ini semakna dengan kata "terdorong" untuk melakukan sesuatu. Sikap ini harus dimiliki oleh siapapun, lebih-lebih ketika kepemimpinan dilekatkan kepada dirinya. Dorongan untuk berusaha menyelenggarakan rancangan diri, atau program organisasi perlu di pupuk secara terus menerus dalam jiwanya. Hal yang wajib dihindari ialah putus asa akibat berbagai halangan, khususnya kendala berupa perasaan rendah diri atau ketidakmampuan. Padahal dengan tegas Tuhan telah mengemukakan dalam firman-Nya:

(لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ)
[QS. 02:286]

Ayat ini begitu jelas menguraikan bahwa tuntutan Allah SWT sekalipun selalu disandarkan pada batas-batas sebuah usaha makhluk-Nya, bukan digantungkan kepada kehendak-Nya.
Pada bagian lain, Allah SWT menyebutkan:

(فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا * إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا)
[QS. 103:05-06]

Dalam ayat di atas ditunjukkan bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan itu terdapat kemudahan-kemudahan. Dalam gramatika Arab diuraikan bahwa penyebutan kata "al-usr" (ِالْعُسْر) yang bermakna "kesulitan" dan kata "yusr" (يُسْر) yang berarti "kemudahan" di ulang sampai dua kali, tetapi dari sisi kandungan makna kedua kata itu berbeda. Meskipun di ulang, hakikatnya kata "al-usr" (ِالْعُسْر) dimaknai satu kesulitan, sedangkan kata "yusr" (يُسْر) memuat dua kemudahan. Dalam pendekatan kaidah ilmu nahwu, hal ini disebabkan salah satu faidah nomina definit (isim ma’rifah) yang di ulang bermakna memadukan dua kata. Sementara bagian dari pengulangan nomina indefinit (isim nakirah) berarti dua makna dari dua kata, kendatipun bentuk lafadznya sama. Oleh sebab itulah, ayat ini dimaknai satu kesukaran pasti ditemui dua solusi. 

Berdasarkan ayat-ayat di atas, sepantasnya seseorang yang dipercaya membawahi orang lain mengupayakan dirinya selalu menjadi sosok yang terus menerus optimis, sehingga dengan demikian pada gilirannya ia mampu mendudukkan kediriannya dalam posisi motivator; pemimpin yang mampu mempengaruhi orang lain melalui kedisiplinan dan tanggungjawab yang senantiasa diperlihatkan.    

Kebanggaan
 
Perasaan bangga menjadi pilar penyangga terbangunnya semangat melakukan pengembangan, peningkatan dan bahkan perubahan. Lebih-lebih dalam Al-Qur'an dengan sangat lugas dan jelas, Allah SWT memposisikan umat muslim sebagai komunitas yang tinggi dan bermartabat di muka bumi ini sebagaimana diformalkan: 

(وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ)
[QS. 02:139]

Di tempat lain, Allah SWT memperkuat eksistensi umat Muhammad SAW dengan firman-Nya:

(كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ)
[QS. 02:110]

Kedua ayat ini diperkukuh dengan dua firman lain yang menegaskan tentang keagungan Islam:

(إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ)
[QS. 03:19]

( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً)
[QS. 03:208]

Ayat-ayat di atas mengisyaratkan bahwa ajaran Islam merupakan konsep hidup yang total. Meskipun persoalan terapan dari kesempurnaan Islam masih diwarnai polemik berkepanjangan di antara para ahli agama Islam, tetapi yang pasti Islam dengan segala ajarannya patut menjadikan pemeluknya bangga.

Konsep Islam yang sedemikian komprehensif inilah yang harus diusung sebagai prinsip-prinsip umum oleh seseorang dalam mengemban tanggungjawab sebagai sosok yang berstatus sebagai pemimpin. Berlandaskan konsep Islam, secara khusus seorang pemimpin diharapkan bangga dengan kreasi dan karya yang dikembangkan sendiri. Rasa bangga cukup diperlukan guna mengakselerasi roda kepemimpinan dari hanya sekedar impiannya sendiri.

Keikhlasan

Persoalan keikhlasan merupakan hal pelik untuk di tilik dari orang lain sebab ikhlas bagian dari perbuatan kalbu. Karena itu Rasulullah SAW berdoa:

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ
[HR Ahmad]

Oleh karenanya, para ulama berbeda pendapat tentang masalah definisi ikhlas. Tetapi dalam garis besar, makna ikhlas dapat dilihat dari indikasi ketika seseorang mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada status dan strata. Hal ini sebagaimana firman Tuhan dalam Al-Qur'an:

(وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ)
[QS. 97:05] 

Dalam ranah kepemimpinan, keikhlasan harus menjadi landasan yang mendasari setiap program dan penyelenggaraan yang dilakukan seorang pemimpin. Demikian ini penting dimilikinya mengingat nilai dan substansi dari kegiatan seorang pemimpin pada seluruh bentuk aktivitas yang dikerjakan bergantung niat awal yang dibuat komitmennya. Namun kekuatan kehendaknya bisa di perhatikan dari wujud kesungguhan dan semangat sebagai indikator. Inilah yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an:

(فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا)
[QS. 18:110]

Urgensitas keikhlasan di dalam kepemimpinan berkaitan dengan keberlanjutan sebuah rencana dan kegiatan yang diselenggarakan. Poin keikhlasan merupakan latar penting dari empat kriteria [kedisiplinan, tanggungjawab, motivasi dan kebanggaan] tipologi kepemimpinan (leadership) karena keterpurukan bangunan sistem kepemimpinan yang diancangkan seringkali bermula dari ketidakmurnian pemimpinnya.
Tag : Opini
1 Komentar "MENGURAI KONSEP KEPEMIMPINAN (Telaah Atas Pemikiran dr. Bambang Eko Sunaryanto)"
Back To Top