Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

Seruling Cinta


Ku simpan selalu seruling cinta yang membingkai dalam dadaku
Menancap tajam bersama anganku
Mengalun syahdu bersama lembayung citaku
Senyummu yang terlukis di wajahmu mampu menggoreskan semangat dalam hidupku
Rangkaian kata elokmu mampu membangunkan tidurku
Dan langkahmu mampu menyentuh kalbuku yang mulai tersapu

Tetesan air mata tak mampu menggantikan semangat yang berkobar dalam jiwa yang keras nan penuh kekakuan. Dan tak pernah terpikirkan sebelumnya sebuah kasih sayang dan cinta tiada tara.

Terlahir dari keluarga sederhana dengan nasib yang sedikit berkelok tak membuat Irsyad tinggal diam. Meski kadang apa yang ia usahakannya dipandang buruk oleh orang sekitarnya, ia tetap teguh pendirian menyongsong permata yang ia impikan. Kadang rasa sedih terasa olehnya akan pendidikannya yang hanya cukup di bangku SMP. Bahkan rasa irinya kadangkala menyelinap dalam jiwanya saat melihat adik perempuannya memiliki kesempatan menempuh pendidikan lebih tinggi darinya. Semua apa yang ia rasakan ia lampiaskan dengan perilaku yang terlihat keluar dari norma-norma. Hingga ia selalu mendapatka cacian dari orang tuanya.

“ Irsyad, kamu itu kok keluyuran terus. Bikin malu orang tua kesana kemari gak jelas. Ibu malu, setiap bertemu dengan orang-orang ibu selalu dicaci maki karena perilakumu yang tak beradap dan tak beraturan”. Ucap ibu marah.

“ Sudahlah bu, biarin orang ngomong apa aja yang penting aku suka”. Jawabnya 

“ Ya Alloh Irsyad, kamu ini mau jadi apa? Gak mau bantu orang tua, keluyuran aja…” belum selesai ibu berbicara, iapun segera beranjak dan pergi entah kemana “ Irsyad, orang tua bicara ditinggal gitu aja, dasar…” teriak ibu. Tanpa ia menghiraukannya dan mempercepat langkahnya. Terlihat Haura yang tak lain adiknya begitu sangat marah pada kakanya itu. Hingga rasa kebencian menyelimuti dirinya. 

Keesokan harinya, “ Ya Alloh Irsyad, bangun… matahari sudah tinggi. Ya gitu itu semalaman ngeluyur terus, paginya gak sholat subuh”. Teriak ibu marah.

“ Udahlah bu, biarin aja…” ucap Haura sambil berpamitan untuk pergi ke sekolah.

“ Assalamu’alaikum” Haura mencium tangan ibunya.

“ Wa’alaikum salam”. Sang ibu pun berangkat ke ladang. Jika sang kakak selalu dicerca oleh masyarakat akan perilakunya, bertolak belakang dengan Haura yang begitu dikagumi oleh setiap orang akan kepintarannya dan keelokan perilakunya. Hingga ia selalu membawa orang tuanya mendapat pujian yang baik dari tetangga terdekatnya. Karena kebanggaannya terhadap Haura sang ibu selalu membanding-bandingkan. Sehingga membuat Irsyad semakin marah “ Iya, memang kakak sama adik aja yang anak ibu. Aku selalu buruk di mata ibu dan bapak, selalu salah…” ucap Irsyad marah.

Karena kesenangannya terhadap music, setiap ia keluar ia selalu membawa alat musiknya “ Mau kemana?” Tanya Haura.

“ Gak perlu tau…” jawabnya angkuh.

“ Keluyuran lagi… kemana-mana bawa barang gak penting itu”. Ucap ibu. Tanpa menghiraukan ibunya iapun pergi.

“ Mau pergi kemana lagi dia???” Tanya bapak.

“ Ya masak ibu tau, ya itu anakmu…” jawab ibu.

“ Ya udah bu biarin, jangan dimarahi terus. Memang kesenangan orang itu berbeda, biarkan saja kalau dia suka music jangan dilarang. Siapa tau dari itu ia bisa menjadikan sampean bahagia”. Ucap Irman saudara sulung Irsyad. 

“ Tapi kalau membuat orang tua sakit hati terus”. Ucap ibu.

“ Mungkin sebenarnya ia tak berkeinginan menyakiti ibu dan bapak, tapi mungkin karena kita tidak tau apa yang sebenarnya ia lakukan. Selama ini kita hanya tau dari perspektif orang tanpa tau dengan sendirinya, kan bu”. Irman menanggapi

Dua tahun kemudian saat di mana Haura akan melanjutkan belajarnya di bangku SMA. Terlihat ayah dan ibu yang tengah kebingungan akan biaya yang diperlukan untuk sekolah Haura. Saat ibu dan bapak berbincang-bincang di ruang tamu “ Bu, apa ini yang mau buat biaya?”

“ Iya ya pak, ibu juga bingung”. Tiba-tiba Irsyad menyahut “ Ya udah gak usah ngelanjutin sekolah, kalau gitu”. Dan kemudian pergi entah kemana. Terlihat Haura yang tengah terlihat sedih, ia takut kalau ia benar-benar tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Tapi bapak tetap meyakinkannya untuk tetap bisa sekolah “ Sudah gak usah hiraukan kakakmu, bagaimanapun bapak akan mengusahakan agar kamu bisa tetap sekolah. Karena bapak ingin salah satu anak bapak ada yang bisa sampai sarjana, yang penting doakan bapak agar senantiasa sehat”.

“ Amien…”

Dan dua minggu kemudian Haura pun berangkat ke tempat di mana ia akan melanjutkan SMA nya. Sekaligus menimba ilmu agama di sebuah pesantren. Rasa sedih menyelimuti hati sang ibu, karena ditinggal oleh putri tercintanya. Saat Haura hendak pergi iapun mencari kakaknya untuk berpamitan “ Kak Irsyad, buka pintunya. Aku mau berangkat sekarang”. Ucap Haura. Tapi Irsyad tak mau membuka pintunya ia hanya menjawab “ Iya…!”. Ternyata ia pun merasakan kesedihan kepergian adiknya, namun ia tak memperlihatkannya. Karena ia malu terhadap Haura. 

Dua tahun kemudian, ternyata apa yang ia sukai selama ini telah mampu menghasilkan sedikit uang. Perlahan ia mulai membuat orang tua percaya, bahwa apa yang ia lakukan selama ini berguna. Namun, sungguh malang nasib tak berpihak pada Irsyad. Dalam waktu yang bersamaan sang bapak dan ibu jatuh sakit. Irsyad menjadi klabakan mencari pengobatan. Dan di kala itu pula Haura kebingungan karena ia harus membayar SPP sekolah. Ia pun menelpon kakaknya “ kriiiiiiiiing…..kriiiiing…”

“ Halo, ada apa Haura???” Tanya Irsyad

“ Bapak kok lama gak kesini kak. Aku waktunya bayar SPP ini, Haura nunggak tiga bulan udah kak. Dan Haura ditagih terus ini”.

“ Sabar ya, di sini bapak sama ibu sedang sakit. Kakak masih bingung mencari pengobatan buat mereka. Kamu yang sabar ya, kakak janji akan segera kesana. Kakak akan hutang dulu”. Ucap Irsyad dengan air mata yang menetes. Dan ditutuplah telpon itu. Haura begitu sedih mendengarkan kabar berita yang sangat menggetarkan jiwanya. Irsyad pun tak tinggal diam, ia mencari pinjaman kesana kemari untuk membayar SPP adiknya. Karena ia tak tega melihat adiknya malang di tempat orang.

Karena penyakit yang menyerang, bapak tak lagi mampu bekerja. Jadi dengan demikian Irsyadlah yang menjadi tumpuan keluarga. Dan menggantikan bapaknya dalam membiayai adik tercintanya. Mungkin dulu keirian itu begitu mencekam, tapi sekarang rasa itu ia hapus sebersih mungkin. Ia bekerja keras dari panggung ke panggung untuk mengais rejeki untuk kebutuhan keluarga dan biaya sang adik di seberang sana. Tanpa menghiraukan akan dirinya, yang ada dalam dirinya ia hanya mampu membiayai sang adik sampai sarjana dan memenuhi kebutuhan orang tua. 

Layaknya seorang mahasiswa Haura juga memerlukan sebuah fasilitas untuk mengerjakan tugas-tugasnya. Namun, Haurapun tau diri. Ia tak mungkin semudah itu meminta kepada sang kakak. Karena, betapa banyak pengorbanan sang kakak yang telah diberikan kepadanya. Tapi kadang Haura bercanda “ Kak kak, sebenarnya aku dapat job menulis, tapi sayang Haura gak punya laptop. Jadi bingung mau nulis pake apa. Itu kendala Haura kak”.

“ Kakak tau, ya bagaiman Haura penghasilan kakak hanya cukup untuk menyambung hidup sama kebutuhanmu saja. Jadi kakak belum bisa menabung untuk membelikanmu barang yang lebih. Ya doakan saja rejeki kakak lancar…” ucap Irsyad sedih

“ Memang kalau belum punya penghasilan sendiri ingin sesuatu sulit. Andai Haura udah bisa cari penghasilan sendiri…”

“ Jangan ngomong gitu, semua butuh proses. Sekarang kamu yang sungguh-sungguh dulu dalam belajar. Kakak janji akan membiayai sampai lulus dan menjadi sarjana. Jangan kecewakan kakak walau hanya sekali”.

“ Iya kak, semangat…”

“ Ya harus itu ra, jangan kecewakan kakak dan kedua orang tua. Kamulah harapan kita!!!”

Beberapa waktu kemudian, “ Irsyad kapan kamu menikah???” Tanya Ilham

“ Masih belum buru-buru, aku masih punya tanggung jawab”. Jawabnya dengan senyuman.

“ Tanggung jawab???”

“ Iya, adikku masih belum lulus, dan masih ingin menjaganya, aku tidak akan menikah sebelum adikku sudah lulus dan sudah menggapai impiannya serta ia sudah ada yang menjaganya”.

“ Ngapain sih kamu membiayai adikmu???”

“ Tidak apa-apa, kalau sekarang aku yang membantunya. Siapa tau suatu asaat nanti ia akan membantuku pula”.

“ Nanti kamu jadi bujang lapuk lho…” ejek temannya.

“ Terserah kalian…” jawabnya  santai.

Tiga tahun kemudian, Akhirnya Haura pun mendapatkan gelar sarjana dengan nilai terbaik. Dan ia pun sudah mulai bekerja di sebuah station TV dan menjadi penulis aktif. Gugurlah satu kewajiban bagi Irsyad, tinggal satu kewajiban lagi. Sesuai harapan Irsyad kini Haura yang telah sukses sudah mampu sedikit membantu beban-beban yang ia pikul selama ini. Dan beberapa waktu kemudian Haurapun menemukan pasangan hidupnya dan pada akhirnya ia menikah. Bertambah lagi kebahagian dalam benak Irsyad. Karena kewajibannya telah selesai ia pun merasa lega. Dan beberapa bulan kemudian ia pun memutuskan untuk menikah.

Sungguh elok warna warni kehidupan, menyisipkan sedikit cahaya dalam ruang hampa. Menyibak kegelapan dalam jiwa, menerjang ombak keharuan dengan penuh kebahagiaan dalam beningnya permata.

Karya : Sahabati Herwiningsih
Tag : Cerpen
0 Komentar "Seruling Cinta"
Back To Top