Organisasi Kemahasiswaan Ekstra Kampus

Bualan Manis di Balik Perisai Biru

Karya : Sahabati Herwiningsih

Pesan itu masih terngiang dalam jiwaku. Dadaku makin sesak saat ingatanku menerawang jauh pada masa silam. Ku buka lembaran demi lembaran yang mulai lusuh termakan masa.

Wajah itu, iya wajah itu seakan tergambar dalam setiap lembaran itu. Wajah bejat tak berperikemanusiaan, yang membawaku jauh mendekam ke dalam jeruji nista.

Waktu itu, saat ia menatapku dengan wajah sendu. “ Hai, namaku Rama” uluran tangannya seakan memaksa tanganku. “ Narti..!”. Ku tundukkan wajahku menghindari tatapan matanya yang menembus mataku.

Sejak pertemuan itu, kamipun saling membuka hati. Kata-kata indahnya seolah bunga mawar yang menghiasi taman hatiku. Setiap hari merekah dalam kehangatan jiwaku. Sampai aku pun terlena dengan mantra yang selalu ku dengar dari mulut manismu.

Pikiran sehatku mulai terkunci, bias wajahmu membuatku semakin tenggelam. Jauh hari dirimu mengajakku berjalan-jalan di tengah kota yang ramai dan sesak akan riuh manusia yang berlalu lalang. Kita berdua mulai memasuki ruangan yang aku pikir kurang penerangan. Aku nikmati keindahan suara lagu-lagu yang menemani kita berdua. Dan indahnya kebersamaan antara kau dan aku.

Tiba-tiba akupun tergelagap saat wajahmu makin dekat, semakin dekat hingga 2 cm meter dari wajahku. Aku terjepit, semakin terjepit saat telapakmu mulai meraba. “Oooohhhh” jeritan yang tak sampai.

Aku meremas bagian kertas yang kutulisi dengan tinta merah itu. Aku lempar dengan sekuat tenaga menyeberangi jendela kamar.

Ku mulai membuka lembaran baru, aku diam tanpa mengucap satu katapun. Saat itu aku menjalani semuanya bersamamu tanpa ada rasa marah. Dan akupun mulai percaya bahwa dirimu akan berubah. Mengembalikan hakekatku menjadi seorang wanita. Wanita yang suci di hadapan tuhannya. Meski tak dapat lagi aku pungkiri kecelakaan itu, kecelakaan yang melukai batinku.

Ku coba membuang temaram kemarahanku padamu, akupun mulai percaya kembali padamu. Bahwa kejadian yang telah lama terjadi hanya sebuah kekhilafanmu yang tak lama lagi akan kau perbaiki. Sikap marahpun tak lagi aku perlihatkan padamu, dalam diriku bersi kukuh untuk tetap bersamamu. Meski hati kecilku mencoba meronta memberontak keputusanku.

Di suatu minggu aku mendapati pesan darimu, aku bahagia bahwa kau hendak mengantarku berlibur untuk menghilangkan kepenatanku. Aku menyambut antusias tawaran baikmu itu. Tanpa pikir panjang akupun bersiap-siap. Tak lama kemudian dirimu telah berdiri tepat di depan pintu rumahku. Dengan secercah senyuman akupun keluar dan memasuki mobilmu. Perjalanan yang menyenangkan bagiku. Seketika mobilpun terhenti, akupun tak tau apakah mobil ini sengaja dihentikan ataukah mogok. Aku mulai resah, aku tak punya keberanian untuk bertanya persoal berhentinya mobilmu itu. Ku lihat dirimu semakin mendekatiku, menatap mataku dengan penuh nafsu. Aku ingin lari, aku ingin pergi, namun aku tak mampu. Aku pasrah, hingga ia mendaratkan kecupannya padaku. “Ooooooo…..” menjerit? Tidak. Aku tak dapat menjerit, aku semakin melemas. Seakan langit runtuh menjatuhiku. Aku tak berdaya.

Seketika aku robek kertas itu dengan emosi yang memuncak, ditambah pula dengan biasan wajahmu yang tak pernah merasa akan kesalahanmu. Kau makin bahagia dengan kebejatanmu. Sungguh sakit jiwa ini saat mengingat kembali persoalan bersamamu. Ingin rasanya tanganku meremas lehermu dan melemparmu jauh ke comberan. Perbuatan itulah yang menyebabkan aku murka dengan organisasi yang aku cintai. Tiada diriku murka pada organisasi yang mendidikku, namun diriku murka pada pemukanya yang penuh kebejatan. Di sanakah letak kaum intelektual yang kau banggakan. Bagiku hanya omong kosong, jika aku menjadi bendera itu. Maka aku pasti akan merasa terhina, karena keberadaanku hanya dijadikan sebagai bentuk simbolis untuk menutupi kebejatan-kebejatan oknum yang tak berani memampangkan batang hidungnya.

Tiada salah sebuah institusi, hanya karena kekalutan yang membalut pada diriku atas ulah oknum yang bertopeng emas permata. Yang menjadikanku hilang kepercayaan pada kaum-kaum yang tak bersalah. Aku rindu kebeningan air sungai dan kesejukan udara kehidupan. Merindukan sejuknya nuansa islam yang sesungguhnya. Bukan bualan kata yang tak berarti dan menjerumuskan ke dalam jurang kenistaan. Cukuplah diriku yang mendapat pengalaman kelam itu. Dalam harapku tak ingin penerusku menjadi korban selanjutnya.

Sudah cukup lambang perisai itu hanya dijadikan sebagai tameng melancarkan kebejatan. Tiada lagi alasan yang perlu kau kowarkan dihadapan ribuan orang. Semua itu tak khayalnya hanya sebuah bualan yang tak berarti untuk siapapun.

#Teruntuk sahabatku tercinta :*)
Tag : Cerpen, Liberalis
0 Komentar "Bualan Manis di Balik Perisai Biru"
Back To Top